Mahasiswa Doktoral Komunikasi Publik Universitas Sumatera Utara
Tahun 2024, merupakan tahun yang istimewa terhadap sejarah bangsa Indonesia, dimana penyelenggaraan pemilu serentak pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal Pemilihan Umum tahun 2024, bahwa penyelenggaraan pemilihan umum serentak adalah pemilihan Presiden/wakil presiden, DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024.
Berdasarkan jadwal tersebut diatas, dimana waktu pelaksanaan yang sangat mendesak dan singkat, partai politik Indonesia disibukan untuk Menyusun strategi politiknya demi meraih suara rakyat dengan maksimal. Hal ini dibuktikan dengan dilaksanakannya konsolidasi internal. Konsolidasi ini diperlukan untuk menghadapi tahapan-tahapan pemilu, seperti halnya dalam pendaftaran peserta pemilu, pendaftaran calon anggota legislatif. Sejumlah partai politik juga telah membuka upaya rekrutmen untuk mendapatkan calon-calon anggota legislatif yang sesuai dengan visi dan perjuangan partai. Persiapan ini bisa memberi nilai positif karena partai masih memiliki waktu yang cukup untuk melakukan proses seleksi.
Selain itu, partai sejauh ini juga melakukan pemetaan akan arah koalisi. Pertemuan antar partai politik sejauh ini adalah gambaran partai untuk mencoba melakukan penjajakan koalisi. Dengan intensitas pertemuan partai diharapkan bisa menemukan potensi kesamaan platform dan agenda koalisi sehingga tidak semata pada kepentingan pragmatis.
Dinamika politik nasional semakin ramai dibicarakan, seiring dengan aksi dan reaksi yang terjadi di antara kekuatan yang akan memasuki gelanggang pertarungan. Melihat situasi dan kondisi saat ini, ragam kekuatan sudah mulai terkonsolidasi. Pada awal tahun ini akan menjadi salah satu fase tersibuk partai politik.
Selain harus bersiap dengan tahapan pemilu legislatif, juga harus intens membangun komunikasi politik lintas kekuatan guna mematangkan pengusungan capres dan cawapres yang akan menjadi kandidat resmi di Pilpres 2024. Kesalahan dalam memosisikan diri dan membuat keputusan akan berdampak pada peta kekuasaan mereka di masa mendatang.
Menurut Sosiolog yang juga pakar komunikasi Jerman, Ferdinand Tönnies, dalam buku klasiknya, Kritik der öffentlichen Meinung (1922), membagi tiga tahap/fase proses pembentukan opini publik.
Fase Pertama adalah tahap awal bagi para kandidat calon presiden dan wakil presiden untuk memunculkan siapa dirinya yang sebenarnya di hadapan publik dalam beragam cara. Ada yang tebar pesona lewat medsos, baliho, videotron, bingkai berita media, ataupun karya nyata lewat jabatannya. Fase kedua adalah terbentuknya opini publik tentang calon-calon yang muncul, ada yang terkonsolidasi pro dan kontrak. Masyarakat mengonsolidasikan diri menjadi pendukung, penentang bahkan masyarakat yang belum menentukan pilihan.
Bila melihat tren belakangan ini, berbagai survei opini publik oleh sejumlah lembaga survei menguatkan beberapa nama sebagai figur paling potensial untuk masuk ke gelanggang pertarungan. Sebagai contoh, Lembaga survei Indonesia Litbang kompas yang dirilis pada Rabu 22 Februari 2023 menunjukkan tingkat elektabilitas Ganjar Pranowo mencapai 25,3 persen, elektabilitas Prabowo Subianto di posisi kedua dengan 18,1 persen, sementara Anies Baswedan berada di urutan ketiga sebesar 13,1 persen dan Ridwan Kamil 8,4 persen.
Keempat nama diatas kini selalu berada di urutan teratas meski dengan persentase yang bervariasi dan posisi urutan yang bersaing satu sama lain di sejumlah lembaga survei lainnya. Dari keacakan nama, opini mulai bisa dipolakan dan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan. Fase ketiga, yakni tahap solidnya opini dan biasanya telah memunculkan mapan atau tetapnya opini publik di masyarakat. Kemungkinan hingga pertengahan tahun ini opini soal kandidat ini akan solid.
Setelah paket capres- cawapres terdaftar secara resmi di KPU, opini publik kembali akan membentuk tahapannya lagi. Publik nanti akan merespons dengan memperbincangkan tiap-tiap paket pasangan, dan biasanya mulai terkonsolidasi di saat masa kampanye. Probabilitas perolehan suara sudah mulai bisa dihitung meskipun tentu bukan proses yang linear. Selalu muncul kejutan seiring dengan manajemen isu dan konflik yang dilakukan tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Pada level tertentu, opini publik pun kembali akan solid dan potensi kemenangan bisa dipetakan menjelang hari pemilihan. Opini publik ini bisa menjadi sinyal untuk parpol tentang bagaimana seharusnya mereka merespons kehendak publik yang berkembang. Benar, bahwa opini sebagai respons aktif terhadap stimulus tidak akan pernah berada di ruang hampa. Selalu ada proses mengonstruksi opini oleh para pihak berkepentingan.
Ada proses konstruksi yang menarik perhatian kemudian bisa dikonversikan menjadi hasrat, ketertarikan, penerimaan, dan dukungan, tetapi juga tak sedikit yang hanya direspons ala kadarnya oleh publik. Jika memaksakan nama yang bukan magnet elektoral menjadi capres ataupun cawapres, tentu akan jadi masalah serius dalam memenangi kompetisi.
Mengapa tahap pembentukan opini publik saat ini lebih dini memasuki tahap die fleissigen position? Hal ini tak terlepas dari manuver Nasdem yang telah mendeklarasikan nama Anies sebagai capres. Hal ini menyebabkan intensitas komunikasi politik kian meningkat. Misalnya, perjumpaan Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat.
Faktor lain yang membuat fase kedua mengemuka lebih awal adalah hasil survei berbagai lembaga yang selalu menempatkan Ganjar, Prabowo, ataupun Anies, Ridwal Kamil konsisten di urutan teratas. Hal ini turut mengakselerasi dinamika figur ke arah yang lebih terpola. Jika tak ada faktor luar biasa yang merusak situasi, kemungkinan parpol akan menjadikan pendekatan ilmiah membaca opini publik ini sebagai salah satu referensi dalam memutuskan pilihan.
Dari perspektif komunikasi politik, ada tiga faktor yang penting dikelola oleh partai dan capres/cawapres secara serius, cermat, dan tepat guna di tengah derasnya opini publik menjelang 2024.
Pertama, terhubung dengan narasi. Politik kerap terhubung dengan persepsi sehingga pengelolaan narasi sangat penting. Narasi bukan sekadar kata-kata, melainkan juga tindakan simbolik yang akan diinterpretasi oleh ragam pihak. Partai ataupun capres/cawapres harus menempatkan narasi tak semata memiliki nilai dan daya ikat emosional, seperti bicara tentang sisi personal figur capres/cawapres, tetapi juga nilai fungsional, yakni terkait gagasan dalam mengatasi ragam persoalan negeri ini.
Kedua, terhubung dengan konvergensi simbolik elite dengan publik. Opini publik itu awalnya kerap bertebaran secara acak dalam konstruksi personal ataupun konstruksi kelompok. Bahkan, jika tak dikelola, opini publik bisa menyerupai gelembung yang memenuhi media dan lini masa media sosial, tetapi saat mau diraih pecah dan raib tak berbekas.
Ketiga, faktor manajemen privasi komunikasi. Persoalan politik yang kerap mengemuka di tengah situasi penuh paradoks adalah pengelolaan pesan mana yang seharusnya disampaikan dan mana yang seharusnya disimpan. Pernyataan elite harus mempertimbangkan konsekuensi bagi diri dan kekuatan politiknya. (AW).
0 Komentar